Paradigma
pembelajaran di sekolah mengalami pergeseran dari pembelajaran yang berpusat
pada guru menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa. Peran gurupun
mengalami perubahan dari pengajar yang hanya mentransfer ilmu dan pengetahuan
menjadi fasilitator dan motivator yang memfasilitasi siswa untuk belajar. Dalam
hal ini siswa belajar membangun sendiri pengetahuannya melalui berbagai proses
kegiatan pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa oleh guru sehingga keterlibatan
siswa di dalam proses pembelajaran menjadi hal yang utama. Model-model pembelajaran di sekolah harus disesuaikan
dengan perubahan ini dan perubahan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi
yang berkembang sangat pesat. Dengan model pembelajaran yang adaptif maka akan
terjadi perbaikan mutu pembelajaran yang berkontribusi pada perbaikan mutu
pendidikan secara umum. Melalui peningkatan kualitas pembelajaran, siswa akan
semakin termotivasi untuk belajar, semakin positif sikapnya, semakin bertambah
jenis pengetahuan dan keterampilan yang dikuasai, dan semakin mantap pemahaman
terhadap materi yang dipelajari.
Untuk menghadapi tantangan perubahan
di masa mendatang yang semakin berat, diperlukan pendekatan-pendekatan dan
orientasi baru dalam pelaksanaan pembelajaran. Salah satu bekal yang diperlukan
untuk memenuhi tuntutan perubahan tersebut adalah melalui pembelajaran yang
berorientasi pada pengembangan potensi siswa. Proses ini akan terjadi manakala
pembelajaran sebagai konteks internal dan eksternal diselenggarakan melalui proses
fasilitasi dan stimulasi. Hal ini mengandung arti bahwa pembelajaran merupakan
proses interaksi antara guru dan siswa, dimana guru berperan sebagai
fasilitator dan motivator yang memfasilitasi siswa untuk belajar dalam proses pembelajaran
yang aktif dan efektif.
Proses belajar yang secara umum
terjadi adalah proses transfer pengetahuan dari guru kepada siswa. Siswa
cenderung hanya menghafalkan rumus dan prosedur-prosedur penyelesaian. Ini
mengakibatkan kemampuan siswa menyelesaikan soal pemecahan masalah menjadi
lemah. Lebih jauh, siswa akan mengalami ketidakmampuan dalam menghubungkan
antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan
dipergunakan atau dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sesuai
dengan hasil studi Bank Dunia pada tahun 2005, bahwa siswa Indonesia kurang
memiliki kemampuan berpikir kritis dibanding rekannya dari Jepang, Korea,
Australia, Hong Kong dan Thailand. Oleh sebab itu, harus dilakukan perubahan metode dan model
pembelajaran yang lebih mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa.
Pendidikan pada jenjang sekolah dasar
merupakan fase penting dari perkembangan anak yang akan mempengaruhi kualitas
sumber daya manusia Indonesia di masa datang. Pada dasarnya, siswa SD memiliki
rasa ingin tahu, tanggap terhadap permasalahan dan kompleksitasnya, dan minat
untuk memahami fenomena secara bermakna. Sementara itu, siswa yang
berpikir kritis adalah siswa yang mampu mengidentifikasi, mengevaluasi, dan
mengkontruksi argumen serta mampu memecahkan masalah dengan tepat. Siswa yang berpikir kritis akan mampu
menolong dirinya atau orang lain dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi.
Dengan demikian proses pembelajaran yang mengembangkan kemampuan berpikir
kritis sejak di tingkat sekolah dasar merupakan hal yang penting untuk
dilakukan.
Salah satu mata pelajaran di sekolah
dasar yang dapat memfasilitasi upaya meningkatkan kemampuan berpikir kritis
siswa adalah mata pelajaran sains. Bagaimana seharusnya pembelajaran sains di sekolah dasar dilakukan? Salah satu alternatifnya menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual. Secara definisi, pembelajaran kontekstual merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan membantu siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan sehari-hari (konteks pribadi, sosial dan kultural), sehingga siswa memiliki pengetahuan dan keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan atau konteks ke permasalahan atau konteks lainnya.
Beberapa perbedaan pembelajaran kontekstual dan konvensional
No
|
Pembelajaran
Kontekstual
|
Pembelajaran
Konvensional
|
1
|
Menyandarkan pada memori spasial (pemahaman makna
|
Menyandarkan pada hafalan
|
2
|
Pemilihan informasi berdasarkan kebutuhan siswa
|
Pemilihan informasi di-tentukan oleh guru
|
3
|
Siswa terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran
|
Siswa menerima informasi secara pasif
|
4
|
Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata atau
masalah yang disimulasikan
|
Pembelajaran sangat abstrak dan teoritis
|
5
|
Selalu mengkaitkan informasi dengan pengetahuan yang
telah dimiliki siswa
|
Memberikan tumpukan informasi kepada siswa sampai saatnya
diperlukan
|
6
|
Siswa menggunakan waktu belajarnya untuk menemukan,
menggali, berdiskusi, berpikir kritis, atau mengerjakan proyek dan pemecahan
masalah (melalui kerja kelompok)
|
Waktu belajar siswa sebagian besar dipergunakan untuk
mengerjakan tugas, mendengar ceramah, dan mengisi latihan (melalui kerja
individual)
|
7
|
Perilaku dibangun atas kesadaran diri
|
Perilaku dibangun atas kebiasaan
|
8
|
Pembelajaran terjadi di berbagai tempat, konteks dan
setting
|
Pembelajaran hanya terjadi dalam kelas
|
9
|
Hasil belajar diukur
melalui penerapan penilaian autentik.
|
Hasil belajar diukur melalui kegiatan akademik dalam
bentuk
tes, ujian, atau ulangan
|
Dengan pendekatan kontekstual, siswa akan lebih termotivasi karena pembelajaran menjadi lebih
menyenangkan. Pembelajaran dilakukan tidak hanya di dalam kelas, tetapi dengan pengamatan langsung pada lingkungan sekitar. Siswa belajar memecahkan masalah secara berkelompok dan terlibat aktif dalam proses pembelajaran.
Salah satu contoh dalam mempelajari "pertumbuhan tanaman": siswa secara berkelompok 2-3 orang diberi tugas membawa tanaman yang berbeda-beda antara satu kelompok dengan kelompok lainnya dan menanamnya di dalam pot. Setiap kelompok bertanggungjawab untuk merawat tanaman tersebut, seperti memberi pupuk, menyirami, menyiangi dan membuang daun yang mengering. Siswa membuat catatan tentang ciri-ciri tanaman, bagaimana bentuk dan warna daunnya, bagaimana bentuk dan warna bunganya, pertumbuhan tanaman tersebut setelah beberapa waktu, dll. Kemudian siswa mempresentasikan hasil laporan tersebut di depan kelas, sehingga semua siswa akan mendapatkan informasi tentang bermacam tanaman yang ditanam oleh seluruh kelompok dalam kelas tersebut.
Kegiatan pembelajaran seperti contoh sederhana di atas akan membuat siswa lebih memahami makna pembelajaran yang dilakukan
dan secara bertahap menumbuhkan kemampuan berpikir kritisnya, karena siswa dilatih membuat
kaitan-kaitan dalam pikirannya tentang materi yang dipelajari dengan kehidupan
nyata yang dialami sehari-hari. Sikap positif lain yang tidak kalah penting adalah menumbuhkan kepekaan siswa sejak dini untuk turut menjaga lingkungannya. (MP)
Tapi mengapa ya bu, setelah sekian banyak informasi kelebihan pendekatan student centered, sepertinya pendekatan ini belum menjadi pilihn utama guru?
BalasHapusBelum menjadi pilihan bukan berarti tidak menjadi pilihan. Menggunakn pendekatan student centered memang berat pada saat awal, karena membutuhkan perencanaan yang matang dengan memberdayakan seluruh potensi yang terdapat di sekolah dan membuat strategi yang dapat melibatkan siswa secara aktif selama proses pembelajaran berlangsung. Sehingga diharapkan siswa mengalami pembelajaran yang bermakna, dapat mengkonstruk sendiri pengetahuannya, dan membuat kesimpulan dari materi yang dipelajari....
HapusSaya yakin ini menjadi pilihan Dea, karena saya tau bagaimana kreatifnya kamu....
Harus ada good will dari guru untuk mau berubah.
Sukses ya buat kamu
Yang perlu di tatar habis gurunya dulu. Banyaknya Jumlah mata pljran me minimalkan kemungkinan siswa lebih melakukan explorasi.
BalasHapusNew generation memerlukan fun learning and wild imagination. Class room jgn jadi beban yg membosankan. You can not teach this with old school of thoughts. Embrace 'serious gaming', edutainment. Einstein: we can't solve problems by using the same kind of thinking we used when we created them.