Penggalan Sajak Seonggok Jagung karya
W.S. Rendra:
Seonggok
jagung di kamar
tak akan menolong seorang pemuda
yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
dan tidak dari kehidupan.
Yang tidak terlatih dalam metode,
dan hanya penuh hafalan kesimpulan,
yang hanya terlatih sebagai pemakai,
tetapi kurang latihan bebas berkarya.
Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.
tak akan menolong seorang pemuda
yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
dan tidak dari kehidupan.
Yang tidak terlatih dalam metode,
dan hanya penuh hafalan kesimpulan,
yang hanya terlatih sebagai pemakai,
tetapi kurang latihan bebas berkarya.
Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.
Aku
bertanya :
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
di tengah kenyataan persoalannya ?
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya ?
Apakah gunanya seseorang
belajat filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,
atau apa saja,
bila pada akhirnya,
ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata :
“ Di sini aku merasa asing dan sepi !”
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
di tengah kenyataan persoalannya ?
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya ?
Apakah gunanya seseorang
belajat filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,
atau apa saja,
bila pada akhirnya,
ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata :
“ Di sini aku merasa asing dan sepi !”
Membaca
sajak ini, membuat pikiran dipenuhi pertanyaan “sebetulnya apa yang terjadi
dengan pendidikan di negeri tercinta ini?” Apakah pendidikan kita gagal membuat
seseorang percaya akan kemampuannya, memiliki kompetensi sesuai bidangnya, mudah
beradaptasi dalam perubahan, mampu berkontribusi bagi lingkungannya, siap
memasuki dunia kerja?
Harian
Kompas pada tahun 2010 pernah memuat tulisan tentang kategori sukses versi
Harvard yang menyebutkan bahwa kesuksesan seseorang tidak semata-mata ditentukan
oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard
skills), tetapi lebih mengarah pada kemampuan mengelola diri dan orang lain
(soft skills). Pernyataan ini
memberikan isyarat bahwa soft skills
sudah selayaknya mendapat perhatian dengan porsi yang lebih dalam dunia pendidikan
terutama pendidikan formal mulai dari tingkat yang terendah, namun kenyataan
berbicara lain. Pembelajaran di sekolah masih berorientasi pada penguasaan
pengetahuan yang menekankan aspek-aspek teknis atau hard skills. Pembelajaran lebih diarahkan bagaimana peserta didik
menguasai sebanyak-banyaknya materi pelajaran yang disampaikan oleh guru atau
sekedar siap menghadapi ujian dan memperoleh nilai bagus. Kalau sekedar itu….
tujuan pembelajaran sudah tercapai dan menunjukkan hasil. Kita bisa lihat spanduk-spanduk
yang terpampang di depan gerbang hampir semua sekolah… Sekolah A lulus UN 100%,
Sekolah B memiliki nilai UN kimia tertinggi se-DKI, dsb.
Apakah memang hanya itu….? Jika hanya
ranah kognitif yang menjadi tujuan, jawabannya IYA. Bagaimana dengan ranah
afektif dan psikomotor?
Kali ini saya ingin meninjaunya dari
kaca mata softskills yang notabene
menjadi bagian dari ranah afektif. Softskills
meliputi intrapersonal skills dan interpersonal skills. Intrapersonal skills
mengarah pada sifat personal, di antaranya rasa empati, integritas, motivasi, critical thinking, tanggung jawab.
Sedangkan interpersonal skills meliputi
keterampilan kerjasama tim (team working
skills), keterampilan berkomunikasi (communication
skills) dan keterampilan kepemimpinan (leadership
skills). Softskills yang demikian
luas cakupannya ini menjadi pelengkap hardskills,
namun bukan pelengkap penderita….
Interpersonal
Skills secara umum digambarkan sebagai keterampilan seseorang dalam
berinteraksi tanpa menimbulkan konflik pribadi melalui komunikasi dan pemahaman
yang baik terhadap orang lain. Hal yang menarik adalah adanya
pernyataan yang menyebutkan bahwa interpersonal
skills ditengarai sebagai keterampilan yang paling penting di dalam dunia
kerja.
Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah
bagaimana cara mengembangkan keterampilan-keterampilan ini melalui
pembelajaran….?
Model pembelajaran kooperatif dapat menjadi salah
satu alternatif.
Pembelajaran kooperatif
adalah suatu proses pembelajaran di mana peserta didik bekerja sama dalam
kelompok-kelompok kecil, saling membantu mempelajari suatu materi pelajaran untuk
mencapai tujuan pembelajaran tertentu. Di dalam pembelajaran kooperatif,
seluruh peserta didik diberi tanggungjawab untuk berpartisipasi aktif dalam
pembelajaran yang bermakna. Pembelajaran kooperatif memiliki lima ciri pokok,
yaitu: (1) Positive interdependence, (2) Individual accountability, (3) Group processing, (4) Social
skills, dan (5) Face to Face interaction.
Salah satu
contoh pembelajaran kooperatif yang dapat diterapkan untuk meningkatkan interpersonal skills adalah model Jigsaw atau model Tim Ahli. Misalnya
kita akan mempelajari cara penentuan entalpi reaksi melalui percobaan,
perhitungan entalpi pembentukan standar, Hukum Hess dan pendekatan energi
ikatan. Maka langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh guru adalah:
- Mengelompokkan siswa dengan 4 anggota tim
- Tiap orang dalam tim diberi bagian materi yang berbeda
- Anggota dari tim yang berbeda bertemu dalam kelompok baru
(kelompok ahli) untuk mendiskusikan materi bagian mereka
- Setelah selesai diskusi sebagai tim ahli tiap anggota kembali ke
kelompok asal dan bergantian menjelaskan kepada teman satu tim mereka
tentang bagian materi yang mereka kuasai dan tiap anggota lainnya
mendengarkan dengan sungguh-sungguh
- Setiap tim ahli mempresentasikan hasil diskusi
- Guru melakukan evaluasi dan memberikan umpan balik
Dari satu
contoh model di atas yang sederhana, guru sudah menciptakan pembelajaran yang
lebih menyenangkan sekaligus melatih peserta didiknya memiliki tanggung jawab
individu dan kelompok, menumbuhkan rasa percaya diri, terampil berkomunikasi, melakukan
kerjasama. Selain itu, peserta didik sudah dikondisikan atau difasilitasi untuk
mengkonstruk sendiri pengetahuannya yang akan menjadi longterm retention.
Jika
pembelajaran yang dilakukan oleh guru selalu menyenangkan dan memfasilitasi
peserta didik untuk terlibat aktif, maka tidak akan ada lagi peserta didik yang
mengatakan tidak suka matematika, kimia pelajaran yang sulit, fisika
menakutkan, sejarah membosankan, dsb. Semua peserta didik akan senang belajar
dan karakter atau sikap positif sedikit demi sedikit akan terbentuk menjadi
pembiasaan dan akhirnya membudaya serta bermuara pada kompetensi yang mencakup
ketiga ranah seperti yang diharapkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar