Sambungan tulisan terdahulu
Pembentukan
komunitas belajar merupakan jalan untuk menuju reformasi sekolah. Dan kegiatan
yang paling sederhana untuk membentuk komunitas belajar adalah melalui pembelajaran
kolaboratif.
Pembelajaran
kolaboratif seringkali dimaknai sebagai sebuah model pembelajaran yang menggunakan
belajar berkelompok dengan berbagai cara, seperti jigsaw, diskusi kelompok dan
lain-lain. Namun, apakah dengan siswa
belajar berkelompok sudah terjadi pembelajaran kolabaratif? Dalam pembelajaran kolaboratif terdapat
tiga point penting, yaitu:
1. Setiap siswa menganggap kelompoknya
seperti rumah sendiri.
Siswa merasa nyaman, tidak malu
bertanya pada temannya jika belum mengerti, setiap siswa merasa diterima apa
adanya dalam kelompok tersebut.
2.
Tersedia tumpuan dalam pembelajaran.
Tumpuan yang dimaksud adalah bahan dan media pembelajaran untuk
merangsang siswa saling berinteraksi dalam kelompoknya.
3.
Melakukan pembelajaran dengan tipe
step atau spiral.
Tipe step maksudnya adalah jika satu langkah gagal maka tidak akan bisa
menuju langkah berikutnya. Sedangkan tipe spiral maksudnya adalah melangkah
maju dengan melibatkan siswa yang belum mengerti, sehingga diperoleh pemahaman
baru.
Tipe pembelajaran
yang baik diterapkan untuk pembelajaran kolaboratif adalah tipe spiral.
Pembentukan
kelompok untuk terjadinya kolaborasi bisa secara berpasangan maupun bertiga
atau berempat. Kelompok yang dibentuk agar proses kolaborasi berlangsung dengan
baik, sangat disarankan memperhatikan pemerataan gender dan keberagaman
lainnya.
Kemudian
bagaimana dengan peran guru dalam pembelajaran kelompok agar terjadi
kolaborasi?
Guru
tetaplah menjadi komponen yang paling berperan menciptakan suasana kondusif
untuk terjadinya pembelajaran kolaboratif, dimulai dari hal-hal sederhana
berikut:
1. Mendorong siswa agar menciptakan
hubungan saling bergantung yang positif satu sama lain, sehingga siswa bisa
secara terbuka untuk meminta bantuan pada siswa lain dalam kelompoknya
2. Menerima setiap siswa apa adanya, tidak
memarahi di depan siswa lain jika berbuat kesalahan, namun memberi bimbingan
secara pribadi agar siswa dapat menyadari kesalahannya
3. Menyimak atau menjadi pendengar yang
baik terhadap apa yang disampaikan siswa, apa yang sudah diketahui dan yang
terpenting apa yang belum diketahui siswa. Tidak melakukan intervensi saat
siswa berbicara
4. Menghubungkan siswa yang belum
mengerti dengan siswa yang sudah mengerti, dan menghubugkannya dengan buku teks
atau sumber belajar
5. Bersikap sabar, memberi waktu dan
ruang kepada siswa untuk merenung dan memecahkan masalahnya. Dengan kata lain
tidak tergesa untuk memberikan penjelasan
6. Mempelajari kembali kesulitan siswa
dalam memahami suatu materi. Dari kesulitan inilah sebetulnya bisa terjadi pembelajaran.
Pada saat siswa
berdiskusi dalam kelompok, siswa harus saling belajar satu sama lain di dalam
kelompoknya tersebut. Semua siswa bebas berpendapat dan saling menyimak dengan
baik pendapat temannya. Memberikan bantuan kepada temannya yang masih kesulitan
dalam memahami materi yang dipelajari. Saling belajar dalam kelompok ini
kemudian dilanjutkan dengan saling belajar dalam kelas pada saat pleno. Siswa
berdiskusi dan mengemukakan pendapat atau pikirannya dalam kegiatan pleno.
Namun pada saat siswa menyampaikan pendapatnya tetap sebagai pendapatnya
pribadi bukan kesimpulan atau pendapat kelompok.
Nah
di sinilah letak bedanya dengan pembelajaran kelompok yang pada umumnya
dilakukan. Biasanya setelah dilakukan diskusi dalam kelompok, salah satu siswa
yang mewakili kelompok tersebut akan menyampaikan pendapat kelompok atau
kesimpulan kelompok pada saat diskusi kelas atau pleno. Pendapat pribadi sudah
melebur menjadi pendapat kelompok. Hal ini bisa menimbulkan ketidakpuasan,
karena kesimpulan kelompok belum tentu sama dan mewakili pikiran dan pendapat
pribadi. Keberagaman pendapat pada saat pleno akan menumbuhkan saling belajar
antar siswa. Semua siswa akan merasa pendapatnya dihargai. Karena bak diskusi
kelompok maupun diskusi pleno bukanlah bertujuan untuk menyatukan pendapat
tetapi untuk saling bertukar pendapat. Peran guru diakhir diskusi tentunya
memberikan konfirmasi dan klarifikasi pemahaman yang benar. Bagian kegiatan ini
disebut dengan sharing task, bagian yang sesuai dengan buku pelajaran, sesuai
dengan kurikulum.
Jika sudah
terjadi sharing task, guru bisa
melakukan jumping task untuk meningkatkan mutu pembelajarannya. Siswa
diberikan tugas atau soal dengan tingkat kesukaran yang tinggi di atas tingkat
pembelajaran biasa untuk didiskusikan kembali dalam kelompok. Selain untuk
meningkatkan mutu pembelajaran, jumping task juga untuk memfasilitasi siswa
yang cepat belajar atau memiliki kemampuan di atas rata-rata. Namun dengan
diskusi kelompok, jumping task ini dapat menggugah rasa ingin tahu seluruh siswa.
Artinya siswa dengan kemampuan rata-rata akan termotivasi juga memecahkan
masalah dalam jumping task. Di
sinilah kemampuan dan kreativitas guru sangat dibutuhkan. Tidak mudah, namun
bukan berarti tidak bisa dilakukan. (bersambung)
*Selamat
berkarya untuk para guru di seluruh penjuru