Pendidikan
nasional dalam UU No 20 Tahun 2003 berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Jika
dicermati, potensi dalam diri peserta didik yang ingin dikembangkan melalui
pendidikan mengarah pada pengembangan karakter. Artinya nilai-nilai karakter
bangsa adalah nafas dan ruh yang menjadi inti utama pendidikan nasional bukan
hanya sekedar untuk mencapai kecerdasan akademik. Hal ini sesuai dengan sifat
umum pendidikan yang dideskripsikan oleh Ki Hajar Dewantara bahwa “Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan
bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak. Bagian-bagian
itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup
anak-anak kita”.
Internalisasi
pendidikan karakter dalam kurikulum sudah ada sejak dulu, bukan merupakan hal
baru. Kurikulum 1964, memfokuskan pembelajaran pada: daya cipta, rasa, karsa,
karya dan moral. Kurikulum 1968 menggantikan kurikulum 1964 yang dicitrakan
sebagai produk Orde Lama, merupakan wujud
dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni, dimana kurikulum
ini bertujuan membentuk manusia Pancasila sejati, kuat dan sehat jasmani,
mempertinggi keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama.
Pendidikan
budaya dan karakter bangsa atau sering disingkat pendidikan karakter dimaknai
sebagai pendidikan yang mengembangkan
nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga mereka
memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai
tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat, dan
warganegara yang religius, nasionalis,
produktif dan kreatif. Sehingga pengembangan karakter menjadi penting untuk
diintegerasikan ke dalam proses pembelajaran di setiap jenjang pendidikan untuk
ketercapaian tujuan pendidikan nasional.
Integrasi
pendidikan karakter ke dalam proses pembelajaran dilakukan dengan menggunakan
pendekatan proses belajar aktif dan berpusat pada peserta didik, dilakukan
melalui berbagai kegiatan baik di dalam kelas, di sekolah, maupun di
masyarakat.
1.
Kelas
Proses pembelajaran
di setiap mata pelajaran dirancang sedemikian rupa untuk mengembangkan
kemampuan dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Oleh karena itu, tidak
selalu diperlukan kegiatan belajar khusus untuk mengembangkan nilai-nilai
pendidikan karakter. Dari setiap proses pembelajaran yang dilakukan dengan
menggunakan berbagai model atau metode pembelajaran akan memunculkan karakter
yang khas, misalnya model problem based
learning, akan menumbuhkan karakter rasa ingin tahu, kritis, analitis.
Metode jigsaw, dapat menumbuhkan rasa percaya diri, tanggung jawab, kerjasama
dan melatih komunikasi. Melalui metode team
game tournament (TGT), ditumbuhkan karakter kompetitif, tanggung jawab dan
kerjasama. Pengembangan nilai-nilai lainnya seperti kerja keras, jujur,
toleransi, disiplin, mandiri, semangat kebangsaan, cinta tanah air, dan gemar
membaca dapat melalui kegiatan belajar yang biasa dilakukan guru. Integrasi
pendidikan karakter dalam proses pembelajaran ini harus tercermin pada rencana
pembelajaran (RPP) yang dibuat oleh guru dengan pendekatan pembelajaran yang
berorientasi pada peserta didik. Untuk pegembangan beberapa nilai lain seperti
peduli sosial, peduli lingkungan, rasa ingin tahu, dan kreatif memerlukan upaya
pengkondisian sehingga peserta didik memiliki kesempatan untuk memunculkan
perilaku yang menunjukkan nilai-nilai itu.
2.
Sekolah
Pendidikan
karakter dapat dikemas melalui berbagai kegiatan sekolah yang diikuti seluruh
peserta didik, guru, kepala sekolah, dan
tenaga administrasi di sekolah itu, direncanakan sejak awal tahun pelajaran,
dimasukkan ke Kalender Akademik dan yang dilakukan sehari-hari sebagai bagian
dari budaya sekolah. Contoh kegiatan yang dapat dimasukkan ke dalam program
sekolah adalah lomba majalah dinding dengan tema-tema tertentu, seperti
perjuangan pahlawan, cinta tanah air, linkungan, dll. Pagelaran seni, misalnya
dengan menampilkan puisi religi. Lomba pidato bertema budaya dan karakter
bangsa, pertandingan olah raga antar kelas, pameran hasil karya peserta didik,
pameran foto hasil karya peserta didik lomba membuat tulisan, lomba mengarang lagu,
melakukan wawancara kepada tokoh lingkungan hidup, tokoh agama, tokoh budaya,
dll.
3.
Luar sekolah
Selain di
dalam kelas dan di sekolah, pendidikan karakter dapat diintegrasikan juga
melalui kegiatan ekstrakurikuler, seperti kelompok ilmiah remaja (KIR), dokter
kecil, palang merah remaja, rohis, olah raga, berbagai kesenian, madding, dan
sebagainya. Kegiatan lain seperti pengabdian masyarakat juga dapat dilakukan untuk
menumbuhkan kepedulian dan kesetiakawanan sosial, misalnya membantu mereka yang
tertimpa musibah banjir, memperbaiki atau membersihkan tempat-tempat umum,
membantu membersihkan atau mengatur barang di tempat ibadah tertentu, gerakan
mencuci mukena di masjid sekitar sekolah, dan sebagainya.
Prinsip-prinsip
yang digunakan dalam pengembangan pendidikan karakter bagi peserta didik
meliputi:
1.
Berkelanjutan
Prinsip berkelanjutan ini mengandung
makna bahwa proses pengembangan nilai-nilai
karakter merupakan sebuah proses panjang, dimulai dari awal peserta
didik masuk sampai selesai dari suatu satuan pendidikan. Sejatinya, proses
tersebut dimulai dari kelas 1 SD atau tahun pertama dan berlangsung paling
tidak sampai kelas 9 atau kelas akhir SMP. Pendidikan karakter di SMA adalah
kelanjutan dari proses yang telah terjadi selama 9 tahun.
2.
Melalui semua mata pelajaran
Pengembangan karakter peserta didik dilakukan
melalui pengintegrasian nilia-nilai di dalam proses pembeajaran setiap mata
pelajaran, dalam setiap kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler
3.
Nilai tidak diajarkan tapi
dikembangkan
Prinsip ini mengandung makna bahwa guru
tidak perlu mengubah pokok bahasan yang sudah ada, tetapi menggunakan materi
pokok bahasan itu untuk mengembangkan nilai-nilai karakter pada peserta didik. Guru
juga tidak harus melakukan proses pembelajaran khusus untuk mengembangkan
nilai, karena satu proses pembelajaran dapat digunakan untuk mengembangkan
kemampuan dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Namun demikian, peserta didik perlu
mengetahui pengertian dari suatu nilai yang sedang mereka tumbuhkan pada diri
mereka. Mereka tidak boleh berada dalam posisi tidak tahu dan tidak paham makna
nilai itu.
4.
Proses pendidikan dilakukan peserta
didik secara aktif dan menyenangkan
Prinsip ini
menyatakan bahwa proses pendidikan karakter bangsa dilakukan oleh peserta didik
bukan oleh guru. Guru menerapkan prinsip ”tut wuri handayani” dalam setiap
perilaku yang ditunjukkan peserta didik. Prinsip ini juga menyatakan bahwa proses
pendidikan dilakukan dalam suasana belajar yang menimbulkan rasa senang dan
tidak indoktrinatif.
Dari
urain di atas jelas terlihat bahwa Guru memiliki peran yang sangat penting
dalam menumbuhkembangkan karakter peserta didik, baik melalui proses pembelajaran
di kelas, kegiatan di sekolah, ekstrakurikuler maupun kegiatan di masyarakat.
“Filosofi ruang sekolah dalam suatu generasi akan memenentukan filosofi
pemerintah di masa depan” (Abraham Lincoln). MP